Kalau kalian masih ngaji, pulang saja sendiri!

"Assalamu'alaikum wr.wb.."

Saya membuka pengajian dengan salam kepada seluruh anak Iqro 1 hingga 6 di sebuah lembaga pengajian didekat rumah saya. Pada saat itu semua anak sangat antusias dengan kehadiran saya yang memang sangat jarang hadir karena kesibukan bekerja di Jakarta. Saya biasanya menyempatkan diri untuk hadir mengajar mengaji sebagai bentuk pengabdian. Sebagai bentuk terimakasih karena saya tidak mungkin bisa membaca Al-Qur'an kalau tidak belajar di Ponpes tersebut.

Orang membaca alquran dari samping


Pada kesempatan tersebut kebetulan sebentar lagi akan diadakan lomba untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI, dan oleh karena itu waktu mengaji dipersingkat, yang biasanya 1 jam setengah, dijadikan 1 jam saja. Maka dari itu saya tidak bisa maksimal mengajar mereka semua yang jumlahnya tidak sedikit. Akhirnya, saya memutuskan untuk bercerita sedikit tentang bagaimana saya dulu di ponpes tersebut dan membandingkannya dengan di Jawa Timur dulu.

Di Jawa Timur saya tinggal didesa Sidorejo II, Ngawi. Didesa tersebut rumah saya memang terpencil. Jauh dari tetangga. Kira-kira untuk mencapai rumah tetangga, saya harus berjalan kaki sekitar 50 meter-an. Itu pun ditutupi oleh pepohonan nan megah yang kalau malam hari suasananya sunyi dan terkesan mistis. 

Tempat pengajian terdekat disana harus ditempuh dengan jalan kaki, dengan penerangan cahaya malam jika memang ada, dan harus bergelut dengan rasa takut akan harimau. Ditempat saya dulu masih sering ada harimau berkeliaran. Saya sendiri pernah melihat kijang berjalan menuruni bukit didepan rumah. 

Saya bercerita bahwa untuk mengaji satu hari saja waktu itu kami harus dimarahi oleh nenek. Nenek itu bawel sekali dan sangat suka marah. Saya pikir, setiap perbuatan saya dimata dia itu salah. Sehingga baik nenek atau bibi, sering kali mengomel atau mencubit. Pernah suatu ketika saya dijewer sampai badan saya terangkat oleh bibi. Hmm.

Waktu itu saya mengaji karena disekolahan, hanya saya dan kakak dan beberapa anak lain yang tidak pernah ngaji. Bahkan sudah kelas 5 SD pun saya belum tahu apa itu Fatah, Dhomah, dan Kasroh. Akhirnya saya paksakan ngaji bersama kakak saya. Tapi pengajian yang kami ikuti pun tidak bisa beres. Artinya, setiap jam 5 lewat, sebelum magrib, kami harus ijin pulang. Karena kalau kemalaman kami bisa-bisa dimarahi.

Nah, suatu ketika guru agama kami yang memang baik hati rupanya berinisiatif membuatkan kami PR. PRnya sederhana, "kalian hanya harus mengaji dan meminta tanda tangan pengajar". Itu saja. Tapi bagi kami itu berat. Masalahnya, pengajian yang kami ikuti bukan buat belajar membaca Al-Qur'an, melainkan hanya pengajian berisi ceramah saja. Jadi untuk membaca Al-Qur'an ada baru dimulai sesudah magrib. "Aduh...Bagaiman bisa?", pikir saya waktu itu. 

Hmm untuk pertama kalinya kami beranikan diri untuk telat pulang. Ya, demi mengaji, kami telat hingga jam 7 malam. Lalu setelah selesai membaca alif, ba, ta sampai beres. Ada yang memanggil kami dari luar. Ah, itu nenek.. Memang beliau sangat sopan kepada pengajar. Jadi tidak memasang muka marah. Tapi begitu kami berjalan ditengah kegelapan dibawah pohon nan rimbun, nenek mulai ngomel, "Nih!. Sekarang kalian rasakan. Enak apa tidak berjalan ditengah hutan gini?!., Besok, aku tidak mau njemput kalian. Kalau kalian masih ngaji, pulang saja sendiri atau nginap saja dirumah orang!." 

Yah, besoknya kami coba cari alternatif lain lagi. Ngaji ditempat yang lain yang dekat dengan rumah saudara kami. Alhamdulillah, paman dan bibi saya yang berbeda desa mau di-inapi. Kami pun mencoba pindah pengajian dan menginap disana. Tapi, hambatan pun selalu ada. Apa yang dapat kami makan?. Nasi putih, dan sambal. Hanya itu. Duh. Melas banget pikir saya. Lalu bibi saya pergi kewarung dan membeli sebungkus mi instan. Dimasak, lalu dibagi bertiga. Ah.. Rasanya nikmat.

Sejak saat itu saya tidak pernah menginap dirumah bibi. Kami tentu tidak mau merepotkan mereka yang makan dengan sambal saja sudah alhamdulillah.

Saat saya naik kelas 6, saya pindah ke Bogor.

Disini saya masih belum bisa ngaji. SMP juga saya masih nggak bisa karena ditempat saya belum ada lembaga pengajian. Sudah ada sih, tapi orang tua saya belum terpikirkan untuk mendaftarkan saya dan kakak kesana.

Kakak saya lulus dan kemudian di sekolahkan ke Gontor Putri. Pada saat itu didirikanlah Ponpes kecil bernama Nurul Hidayah dikampung kami. Kampung baru. Sebelum didirikan Ponpes, tempat tersebut dulunya adalah tempat sampah. Banyak pemulung, dan juga 'cabe-cabean' yang dijual dengan harga murah disini, kami juga sering mendengar anak-anak muda nongkrong untuk 'nyekek' botol.. Sejak didirikan Ponpes, kegiatan tersebut sirnah. Mungkin ini juga karena kreta api jurusan SukaBumi Bogor sudah mulai aktif lagi.

Nah, Saat saya masuk SMK, dan adik saya di SMP, pendiri ponpes tersebut bertanya kepada ayah saya yang sering sholat berjamaah disitu, "Bapak punya anak?.". "Punya", jawab ayah. Dan bla bla bla.. akhirnya diputuskanlah kalau saya harus mengaji bersama adik saya.

Jujur, saya malu sekali. Saya bahkan sudah bilang ke orang tua,"Ah!. pak! Saya nggak mau ngaji disitu, malu!. mereka masih anak-anak, sementara saya sudah SMK.". Saya sempat bilang, ingin pergi dari rumah kalau sampai disuruh ngaji. hehe.

Yah, pada akhirnya kami dijemput oleh 3 orang dan mereka semua itu teman SD saya di Bogor. Duh, malunya...

Sebulan, dua bulan, satu tahun. Alhamdulillah, saya benar-benar bisa membaca Al-Quran. Walau masih terbata-bata, saya sangat senang. Bagi saya ini adalah prestasi. Ternyata malu, takut, atau marah yang timbul saat pertama kali saya mengaji tersebut adalah sebuah godaan. Dan itu semua hanya perasaan yang bisa dihilangkan begitu saja ketika sudah dialami.

Wah panjang juga ya hehe. Semoga bisa diambil hikmahnya saja.

Lihat juga artikel lainnya : Usia bukan alasan untuk tidak bisa membaca Al-Qur'an

Kalau yang ini, dulu dia kuli bangunan. Sekarang penulis terkenal. Lihat disini.

Post a Comment

0 Comments