Cerpen
Nyolong makanan di warung.
Kelas 4 SD, menjadi masa yang mampu merubah saya menjadi orang yang berhemat dan jujur. Hm, aneh memang kalau saya mengatakan diri saya sendiri jujur. Tapi ini adalah soal makanan. Dulu, sewaktu saya masih SD, uang jajan yang diberikan kepada saya waktu itu adalah sebesar Rp.500.- yang bisa dipakai untuk membeli jajan selama setengah hari. Selain dari uang Rp.500.- tadi saya dan kakak saya sama sekali tidak dijatah. Jadi ya, kami berdua mengandalkan Rp.500.- untuk kadang ditabung buat membeli jajanan.
Uang Rp.500- perak itu bagi kami besar. Ada teman saya yang uang jajannya hanya Rp.300.- sehari. Yah, tahun 2000, waktu itu semuanya masih sangat murah. Dengan uang Rp.500 itu saya bisa beli nasi uduk satu bungkus Rp.250. Dan sisanya buat beli minum atau ciki.
Untuk seorang anak, jajan adalah sesuatu yang pasti dilakukan. Tapi sejak kecil, kami memang sudah harus 'puasa' untuk jajan. Sering kali kami disuruh ke warung untuk beli minyak tanah. Itu pun uangnya dipas. Sehingga kalau belinya 2 liter ya sudah tidak ada kembalian untuk jajan.
Karena mungkin kami yang masih anak-anak ini merasa bahwa, 'ayolah.. kami ingin jajan. Kenapa tidak diberi?'. Maka, kakak saya kemudian berani mengambil ciki diwarung yang sering kami datangi tersebut. Yah. Satu hari, dua hari.. memang tidak terasa. Saya pun kemudian mengambil susu. Tentu semuanya dilakukan diam-diam saat si pemilik warung sedang tidak ada diwarung. Semua sedang sepi. Sehingga kami yang belum tahu makanan haram atau halal ya dengan enaknya comot ini itu tanpa memberi tahu kepada pemilik warung.
Akhirnya, aksi kakak saya ketahuan. Tanpa kami ketahui, ternyata susu yang diletakan diatas etalase tersebut setiap hari dihitung oleh pemilik warung. Hingga saat kami membeli minyak tanah, ia kemudian bertanya. "Na, itu apa yang ada dibaju kamu?, tanya pemilik warung. "mm.. plastik bi.". "Boleh saya lihat?. Kenapa plastiknya disimpan didalam baju?." Muka kakak saya sudah tertunduk dan kemudian mengeluarkan ciki yang disimpannya didalam baju.
Pemilik warung tidak marah, tapi ia bertanya, "Minggu ini ada beberapa susu yang hilang. Apakah kamu yang melakukannya?." Saat itu kami berkata jujur, "Iya bi.". "Yasudah kalau begitu, saya tidak akan bilang kepada siapa-siapa, tapi kamu harus membayar ciki dan susu yang kamu ambil".
"Jumlah susunya, adalah 10 kotak. Dan sekarang tinggal 6, jadi kamu mengambil 4. Harganya Rp.4.000. Dan berapa ciki yang kamu ambil?", tanya pemilik warung. "6 buah bi", jawab kakak. "Kalau begitu, jari Rp.10.000. Mau dibayar kapan?. Kalau kamu mau, bisa dicicil, nanti setiap hari kamu kesini buat membayar.". "Baik bi.." kata kakak.
Akhirnya, kami tidak berani lagi mengambil susu diwarung tersebut. Kami berpatungan buat mencicil uang Rp.10.000 tersebut. Tapi apa daya, ternyata kakak saya tipe orang yang boros. Kami tidak bisa mencicilnya. Memang pemilik warung tersebut tidak memberitahukan kepada siapapun termasuk nenek saya. Sebab bila nenek tahu, habislah saya. Pasti saya bakal dipukul dan diteror pada malam hari. Iya, nenek dan bibi saya memang mendidik kami dengan cara yang keras. Sebab itu kami merasa takut apabila sampai berbuat kesalahan. Kami jadi sering berbohong karenanya.
Pemilik warung mungkin sudah bosan menunggu, dan bulan itu orang tua kami kembali ke desa untuk menengok kami dan melepaskan rasa rindu. Senang sekali rasanya. Tapi ibu saya kaget. Sewaktu ia berbelanja di warung tersebut, ibu saya diberitahukan bahwa kami mengambil jajan tanpa bilang-bilang. Ibu saya malu luar biasa. Dan setelah pulang, ibu berkata "Nak.. apa kalian mengambil jajan di warung bi Warni?". "Iya bu.. ", jawab kami. "Kenapa kalian tidak bilang?. Kalau uang jajan kalian kurang, Ibu bisa tambah. Kalian juga bisa mengambil jajan di warung tersebut kalau kalian mau, asalkan bilang ke pemilik, 'bi.. saya ambil susu, tolong dicatat ya, nanti ibu yang bayar. Sekarang kalian pergi kewarung dan minta maaf ke bi Warni. Ini ambil uangnya."
Kami kemudian pergi ke warung dan saling menyalahkan. Setelah sampai diwarung, kami berdua memeluk bi Warni sambil menangis. "Bi.. maafkan kami ya.. kami sudah mencuri.".
Duh.. peristiwa itu begitu kena ke hati saya. Sejak saat itu saya mulai menabung. Untuk membeli donat seharga Rp.500, saya harus nabung selama 3 hari. Dan alhamdulillah sampai seterusnya saya tetap begitu. Entah, dengan kakak saya. Dia memang sulit untuk berkata jujur. Ia mengulangi kesalahan tersebut bahkan sampai saat ini.
Saya tidak bisa membayangkan bila ibu saya waktu itu marah dan memukul saya pakai kayu. Mungkin itu hanya menyakiti saya sesaat saja dan tidak benar-benar membuat saya jadi seperti saat ini. Terimakasih ibu.
Post a Comment
8 Comments
Hmmmm... Kisah yang sangat pelik mas Ary, ternyata jujur juga sampeyan, sampe rela dibikin artikel. Nanti bi warni suruh baca blognya mas Ary, haha.
ReplyDeleteIni gara-gara saya baca buku mas hendra.. Itu tu yang linknya disini http://www.arydoweh.com/2015/10/kisah-haru-beginilah-cara-mendidik-anak.html
DeleteOoh macam tu, saya sudah baca tadi, benar-benar luar biasa
DeleteSaya malah berniat menceritakan semua kisah yang menarik yang saya tahu. Dari saya pribadi atau orang lain, semua karena buku tersebut.
Deletekisahnya sangat menyentuh sekali mas dan semoga untuk kka mas juga cepat terbuka dahh mata hatinya hehee
ReplyDeleteTerimakasih Mas, Iya semoga saja.
Deletedulu saya pernah melakukannya tapi itu dulu hahahaha dan untungnya belum pernah ketauan,,, mungkin karena profesional :D
ReplyDeleteAnak-anak memang biasa begitu mas Irwin, tapi waktu itu memang peristiwa itu membuat saya jadi sadar betul arti jujur.
DeleteBerkomentarlah yang baik dan sopan.
Jangan berkomentar diluar dari Topik (OOT)
Diharap untuk tidak menempelkan link dalam bentuk apapun.
Komentar dengan link akif maupun non-aktif tidak akan ditampilkan.
Terimakasih.